(FF SHINEE SHOUNEN AI JINBOON) WE ARE FOREVER BONNIE & CLIDE Part 6

editing by @AetherionVienna

 

Main Cast:

Gweboon

Jinki

 

Support Cast:

Taeyeon

Jjong

Minho

Kahi (afterschool)

 

Genre: Live

Rating: PG

 

Ahahhahahhahahahhahahh. Kebiasaan buruk gw!! Bagus di part satu, makin geje d ending.. ahahhahahhahaha.. ada yg bisa ngasih saran ending yg bagus??

 

RCL please~

 

 

BONNIE POV

 

Satu tahun, dua bulan, empat hari.

 

Aku terbangun dan tak menemukan notebook di meja belajarku. Gadis yang aku yakin tahu dimana benda itu, menyodorkan sebutir obat kepadaku.

 

“Kemana notebook kita?”

“Aku kembalikan pada nyonya Choi.”

“Kau!”

 

Dimana kesepakatan yang dia berikan kemarin pagi? Aku sudah menuruti keinginannya, tapi dia justru berlaku seenaknya! Aku menapis tangan yang membawakanku obat. Aku tidak mau lagi melakukan kesepakatan-kesepakatan bodoh dengan gadis ini.

 

Sebuah sweater rajut yang tergantung pada daun pintu kupakai untuk menghangatkanku. Kupakai sandal agar lebih mudah.

 

“Eonni kau mau kemana?”

“Perpustakaan!”

 

Aku tak peduli walau aku hanya mengenakan piyama dibalik sweaterku. Lagipula perpustakaan dilengkapi dengan alat pemanas ruangan. Dan dipagi hari seperti ini, kau tak perlu berebut untuk menggunakan computer perpustakaan.

 

“Eonni! Kau ada tes hari ini!”

“Kau saja yang mengikuti tes bodoh itu!”

 

Belum sampai tanganku meraih pintu. Taeyeon sudah berhasil menarik tubuhku menjauh dari pintu. Dan terjatuh ditempat tidurku, aku terlalu lemah.

 

“Apa tujuanmu sekolah ditempat ini? huh! Kau pikir masa depanmu ada ditangan Onew?”

“Setidaknya aku masih Bonnie yang dulu. Tidak berubah seperti KAU!”

“Eonni tak mau berubah? Ingin terus berada dibawah dan dipandang remeh orang lain? Bukankah kau membenci dunia yang selalu menyisihkanmu? Tapi pada kenyataannya, justru kau yang menyisihkan dirimu sendiri!”

 

Aku tak pernah melihat Taeyeon menunjukan kekesalannya seperti ini. Setelah menyampirkan tas pada bahunya, dia mengeluarkan sebuah benda yang kusangka tak akan kutemui lagi. Dengan sedikit kasar, dia menaruh notebook putih itu disampingku.

 

“Silahkan jika selamanya kau ingin seperti ini!”

 

BLAM!

 

Gadis yang akhir-akhir ini senang sekali membanting pintu, menamparku dengan perkataannya. Dia semakin pandai membuat orang lain terpojok. Diatas tempat tidur Taeyeon, seragam sekolahku sudah disiapkan dengan rapih. Begitu juga dengan sepatuku.

 

Apa yang sudah kulakukan? Justru aku yang tidak mengikuti kesepakatan yang kubuat sendiri. Aku yang menginginkan Onew oppa untuk memiliki masa depannya sendiri. Dan mengabaikan masa depanku sendiri.

 

Tidak begini Bonnie, kau pun harus berjuang seperti Onew oppa.

 

*****

 

 

Aku berhenti menghitung setiap hari-hariku ditempat ini. Semenjak aku mendapatkan email dari Jjong yang terkesan ganjil. Maka aku memutuskan untuk menyibukan diriku dengan belajar. Yang kuketahui hanya sudah hampir dua tahun aku berada ditempat ini.

 

“Jangan lupa untuk mengirimku email.”

“Ne~”

 

Suara Taeyeon terdengar bergetar. Gadis manisku terus mengerjap-ngerjapkan matanya, sehingga setetes air mata keluar dari pelupuk mata bulatnya. Menetes membasahi salah satu bajuku yang baru saja dia taruh kedalam koper.

 

“Jangan menangis! Bukankah seharusnya kau senang? Kau mendapatka notebookmu sendiri. Kau membuatku iri, notebookmu berwarna pink.”

“Aku akan sendirian..”

 

Bahunya yang mulai bergetar, juga pipinya yang sudah basah karena air mata, membuatku tak tahan untuk memeluknya. Kubiarkan Taeyeon melepaskan tangisnya beberapa menit didadaku. Sebelum aku pergi meninggalkannya.

 

“Kau akan mempunyai room mate baru.”

 

…..

 

 

Aku percaya Nyonya Choi akan mengurus Taeyeon dengan baik. Lagipula hubungan mereka sudah lebih dekat dari yang kuperkirakan.

 

Kulihat senyum Taeyeon sudah mengembang, berdiri diantara Nyonya Choi dan Minho. Walau dia berusaha menutupi wajahnya yang sembab dengan rambut pajangnya. Dia melakukan hal itu, pasti karena tidak mau terlihat jelek dimata Minho.

 

Tangannya tak berhenti melayangkan lambaian padaku. Meskipun semakin lama mobil yang kunaiki semakin menjauhinya. Masih dapat kulihat tangannya masih melambai padaku, meski aku tak tahu apakah dia masih tersenyum?

 

Mobil nyonya Park Kahi sudah melewati gerbang sekolah. Aku tak dapat melihat gadis manis itu lagi. Entah bagaimana air mataku tiba-tiba mendesak keluar. Saat kurasa aku benar-benar sudah jauh dari Taeyeon, rasa kehilangan itu baru terasa didadaku.

 

“Kau yakin Bonnie?”

 

Kuseka air mataku sebelum membalikan posisiku menghadap pada nyonya Park. Dia elegan, sama seperti biasanya. Senyum hangatnya pun masih seperti saat aku bertemu dengannya.

 

“Aku yakin.”

 

“Rencananya, dimana kau akan mendirikan sekolah?”

 

“Seoul. Aku akan kembali ke Seoul.”

 

Kami hanya saling melempar senyum, lalu melihat jalan didepan kami. Jalan yang akan kutempuh menuju cita-citaku.

 

Ya. Aku mempunyai cita-cita. Saat mendengar sejarah sekolah ini dari nyonya Park Kahi, aku ingin menjadi seperti wanita ini. Mendirikan sebuah sekolah untuk anak yang kurang beruntung. Walau pada akhirnya sekolah ini menjadi semakin besar, dan berubah menjadi sekolah komersil.

 

Aku akan melanjutkan sekolahku diuniversitas, bidang pendidikan. Sebenarnya, yang diharapkan nyonya Park dariku adalah, agar aku dapat mengelola sekolahnya setelah lulus dari universitas. Dengan berat hati aku menolak tawarannya. Sekolah ini bukan duniaku.

 

 

Kubuka kembali notebook yang kini tak perlu kuberbagi dengan Taeyeon. Membuka sebuah email terakhir dari Jjong yang terus kusimpan.

 

 

From: Jjong

 

Sekolahlah dengan benar! Aku akan membuatkanmu komedi putar dengan kuda yang paling cantik ketika kau lulus nanti!

 

 

Bodoh. Setahuku, Jjong phobia pada kuda.

 

 

******

 

 

 

“YA!!! BISAKAH KALIAN DIAM!!”

 

Hari pertama aku mengajar disekolahku sendiri. Sekolah yang hampir ditutup karena kekurangan dana, kuambil alih. Sekolah dengan 50 siswa sekolah dasar yang tersisa. Bising. Liar. Tak terkendali.

 

“Kau! Kau yang paling tua. Seharusnya kau dapat memberikan contoh yang baik.”

 

Tongkat kayuku menunjuk hidung seorang anak laki-laki dengan rambut menutupi telinga. Bocah yang hanya memukul-mukul meja ini tak menunjukan rasa takutnya sedikitpun setelah kugertak.

 

“Jika tidak belajar dengan benar. Kau mau menjadi apa?”

“Aku akan mencuri.”

 

Aisshh! Anak dekil ini.

 

“Kalau begitu, pelajaranmu hari ini berdiri didepan kelas. Lalu seluruh temanmu akan memukulimu. Seorang pencuri harus kuat dipukuli.”

 

Tatapan matanya meremehkanku. Dia beranjak dari tempat duduk yang dipenuhi dengan goresan dan coretan. Berjalan santai kedepan kelas, dengan kedua tangan yang dimasukan kedalam saku. Berlaga seperti menantangku.

 

“Pukul saja. Aku sudah terbiasa dipukul.”

 

Apa?

Bocah ini menguji kesabaranku kah? Jangan sampai aku memukul dihari pertamaku. Jinjja!

Aku hendak melayangkan pukulanku pada bocah tak tahu diri ini. Tapi sebuah tangan menahanku. Taeyeon, dia bersama Minho dibelakangnya, membawa banyak cake pada sebuah nampan. Dan menaruhnya dimejaku.

 

“Aku akan memberikan cake ini pada anak yang mau menceritakan padaku cita-citanya. Siapa yang mau memulainyaaaa?”

 

“AKUUUUUU!! AKUU!”

 

Semua anak berteriak sekencang mungkin. Berharap agar teriakannya yang paling melengkinlah yang akan dipilih Taeyeon.

 

“Kau, kau yang mulai.”

 

Kelas menjadi hening, takala Taeyeon justru memilih anak yang diam, berdiri didepan kelas.

 

“Aku ingin menjadi laki-laki yang kuat. Agar ayahku tak bisa lagi memukulku dan ibuku.”

 

Anak laki-laki itu, justru terlihat nyaman dan lebih terbuka pada Taeyeon. Pandangannya lurus pada mata Taeyeon.

 

“Hmm~ kalau begitu, bagaimana jika kau jadi petinju saja. Atau tentara. Atau..”

“Aku akan menjadi polisi. Dengan begitu aku bisa memenjarakan ayahku.”

“Tapi sayangnya, polisi tidak boleh mencuri..”

 

Anak itu hanya diam. Tak berkata apapun lagi. Tidak juga menundukan kepalanya. Hanya diam menatap mata Taeyeon.

 

“Pilihlah cake yang kau suka. Lalu kembalilah kebangkumu.”

“Khamzhamanida.”

 

Aku melupakan suatu hal. Suatu hal yang seharusnya sudah kupahami, karena aku pernah merasakan hal tersebut. Anak-anak seperti mereka, bukan fisik mereka yang mudah sakit. Tetapi hati mereka.

 

“Salah satu proposalmu diterima, segera temui donator itu. Biarkan Taeyeon dan aku yang menangani kelas hari ini.”

 

Benarkah? Kutatap Minho untuk memastikan bahwa dia tidak bercanda. Minho mengangguk dan mendorongku keluar kelas.

 

Ini hebat! Akhirnya ada seorang yang memiliki hati yang mau membantu membiayai sekolahku. Aku  berlari menuju kantorku. Kulihat sebuah map terpisah dari map lainnya diatas mejaku. Map yang terpisah tersebut sudah ditandai ‘OK’ oleh Minho. Kubuka map tersebut, mencari nomor telefon atau alamat yang bisa kuhubungi.

 

Aku sedikit kecewa dengan apa yang kulihat pada map ini. Tentu saja perusahaan ayah Minho akan menerima proposal ini. Pasti ada campur tangan nyonya Choi dan anaknya, Choi Minho. Aku harus lebih giat menyebarkan proposalku.

 

******

 

 

Tinggal disebuah rumah susun tidaklah setenang saat aku diasrama. Tempat ini sangat bising, meski jauh dari jalan raya. Semua penghuni ditempat ini tampaknya tak dapat berbicara dengan suara pelan. Ditambah dengan suara televisi dan radio yang saling berlomba.

 

Niatku untuk mengambil udara segar dan menikmati malam Seoul tidak tercapai. Setidaknya, aku dapat mandiri, tidak perlu merepotkan nyonya Choi atau nyonya Park. Uang tabungan beasiswaku sudah habis untuk mengambil alih sekolah yang tak jauh dari rumah susun ini. Hanya tersisa untuk menyewa tempat tinggal dirumah susun ini.

 

Sisi baiknya adalah, aku lebih dekat dengan murid-muridku yang sebagian besar tinggal tempat ini.

 

Bughh!

 

“Maaf seongsangnim~”

 

Baru saja aku memikirkan muridku. Dan salah satunya menabrakku. Uangnya terjatuh, anak perempuan ini memungutnya dengan tergesa. Matanya terus melihat teman-temannya yang sudah lebih dulu berlari jauh didepannya.

 

“Tidak apa-apa. Kau mau kemana? Jangan terlalu terburu-buru Jeojin ah~.”

“Aku mau naik komedi putar.”

“Eoh? Dimana ada komedi putar?”

“Dilapangan dekat taman gangnam. Seseorang membangun komedi putar disana. Annyeong~”

 

Teman-temannya berlari semakin jauh. Murid perempuanku ini berlari menyusul mereka. Uangnya sempat terjatuh lagi, dan lagi dia harus memungut uangnya. Sementara teman-temannya sudah hilang menuruni anak tangga.

 

“HATI-HATI!! INI SUDAH MALAM!!!”

 

“NEE!!”

 

Anak seusia mereka, wajar saja jika terlalu bersemangat dengan hal semacam komedi putar.

 

Lapangan dekat taman gangnam bukan?

Seharusnya dari tempatku kini dapat terlihat. Oh! Aku dapat melihatnya. Lapangan yang dulu digunakan untuk bermain sepak bola oleh anak-anak sekitar, kini memancarkan cahaya yang sangat terang. Tapi aku hanya dapat melihat ujung payung komedi putar.

 

Kenapa disaat seperti ini aku mengingat Onew oppa? Tuhan, jika dia berada di Seoul, pertemukan kami secepatnya.

 

……

 

 

Dok dok dok!

 

“Tunggu sebentar!!”

 

Seseorang yang mengetuk pintuku adalah seorang wanita. Aku tidak mengenalinya, tapi aku yakin wanita ini tinggal dirumah susun ini. Dia terlihat cemas, bersama seorang remaja laki-laki dibelakangnya.

 

“Jeojin belum pulang. Apa dia kemari?”

“Jeojin? Dia belum pulang?”

 

Pantas saja ibu dari Jeojin terlihat cemas. Ini sudah pukul sebelas malam, dan anak perempuannya belum pulang.

 

“Jeojin pergi bersama teman-temannya bukan? Apa teman-temannya sudah pulang?”

 

Setelah mengenakan jaket, aku keluar dan mengunci pintu tempat tinggalku. Malam ini aku akan membantu mencari Jeojin.

 

“Teman-teman Jeojin sudah pulang. Mereka bilang Jeojin masih ingin bermain komedi putar.”

“Apa kau sudah mencari adikmu dikomedi putar?”

“Sudah. Tapi komedi putar itu sudah tutup. Dan pria dikomedi putar itu berkata kalau dia tidak melihat Jeojin.”

 

Ya Tuhan~ anak perempuan sekecil Jeojin, apa dia tidak bisa menemukan jalan pulang?

 

“Aku bantu mencari Jeojin nyonya. Mari.”

 

…..

 

 

Aku pernah bersembunyi di gang sempit. Gang yang sempat melindungiku dari malam Seoul. Aku mencari Jeojin disetiap gang. Mungkin saja Jeojin ketakutan dan bersembunyi di gang.

 

Ibu dan kakak laki-laki Jeojin, mencari Jeojin dirumah teman-teman Jeojin. Siapa pun dari kami yang lebih dulu menemukan Jeojin, harus segera memberitahu. Dan selfonku tidak berbunyi sejak tadi. Itu tandanya ibu Jeojin belum menemukan anaknya.

 

Aku berjalan menyusuri taman gangnam. Berteriak memanggil nama Jeojin. Tapi nihil.

Udara malam sudah menusukku. Bagaimana dengan Jeojin? Apa dia kedinginan?

 

Satu-satunya tempat yang belum kusanggahi, adalah tanah lapang dimana sebuah komedi putar dibangun diatasnya.

 

Ini ganjil. Kukira akan ada beberapa wahana disekitar komedi putar. Tapi hanya komedi putar yang megah berdiri ditengah lapang. Lampu disekitarnya menerangi komedi putar tersebut. Indah. Aku selalu menyukainya.

 

Seorang pria dengan asap rokok mengepul disekitarnya, berdiri memandangi komedi putar yang tidak bergerak. Aku berjalan menghampiri pria tersebut. Semakin dekat, aku merasa pria itu cukup familiar denganku.

 

Suara langkahku membuatnya memutar tubuhnya. Aku tidak percaya dengan yang kulihat. Bahagiakah dengan yang kulihat? Bersedihkah? Karena saat ini dadaku tercekat. Atau marah? Kakiku tak mau bergerak untuk mendekati pria tersebut.

 

Lelaki itu, tampak canggung dengan rokok dimulutnya. Tangannya mengambil rokok tersebut, seperti hendak membuangnya tapi tak tahu kemana. Pada akhirnya, dia membuang rokoknya didepannya, kemudian menginjaknya hingga padam. Dengan hilangnya asap rokok yang sempat menutupi wajahnya, kini aku dapat melihat dengan jelas. Betapa laki-laki ini tak dapat mengurus dirinya sendiri.

 

“Kau suka komedi putarnya? Bonnie?”

 

Apa ini komedi putar yang Onew oppa janjikan padaku?

Perasaan ini meledak. Kerinduan yang kusimpan bertahun-tahun, sudah terbayar. Tapi, mengapa rasanya begitu menyakitkan? Hingga tak bisa kutahan lagi air mataku.

 

“Hey. Hey. Jangan menangis.”

 

Onew oppa berlari mendekati tempatku berdiri. Saat laki-laki yang sangat kurindukan ini semakin dekat. Tangisku semakin menjadi. Semakin sakit saat tangannya yang kasar menyeka air mataku. Aroma tembakau begitu menyengat dari bibirnya yang mengecup pipiku. Rasa sakit ini, berasal dari penyesalanku, perasaan bersalah karena membiarkannya sendiri.

Tanganku bergetar, ingin meraih pinggangnya, tapi yang kulakukan hanya menyentuh jaket coklat lusuhnya. Tangan besar yang hangat membimbing kedua tanganku merangkul pinggangnya. Onew oppa menarik punggungku untuk menghapus jarak antara kami. Hangat yang kurindukan, memenuhi rongga hidungku. Kubenamkan kepalaku didadanya. Memeluknya erat hingga tangisku usai.

 

“Apa sekolahmu lakukan padamu? Hingga kau menjadi kurus seperti ini?”

“Makanan disana tidak enak.”

“Mereka hanya memberimu nasi?”

 

Bodoh. Kau yang membuatku tak bisa makan Onew!

 

“Apa kau tidak punya uang untuk membeli lauk?”

“Tidak, hanya saja makanannya tidak enak.”

“Mereka tidak memberi bumbu pada makananmu?.”

 

Issshh! Jangan memaksaku untuk mengatakannya.

 

“Atau, kau selalu makan makanan gosong?”

 

“Aku lebih suka makan bersamamu.”

 

Tak ada lagi pembahasan mengenai makanan. Sangat puaskah dengan jawabanku? Hingga lengannya memelukku semakin erat dan terkekeh.

 

Onew oppa mendorong bahuku perlahan, menciptakan sebuah jarak. Aku melepaskan rangkulanku agar dapat menghapus air mataku. Jemari Onew oppa menyentuh ujung mataku, membantu agar sisa air mata ini tidak membasahi pipiku kembali.

 

Tiba-tiba aku merasakan hembusan nafas Onew oppa diwajahku. Wajahnya sudah begitu dekat dengan wajahku. Matanya mengarah pada bibirku yang hampir bersentuhan dengan bibirnya. Sesuatu seperti menggelitik dadaku. Bak jatuh dari awan, aku bersumpah bibir Onew oppa menyentuh bibirku walau hanya satu detik. Dengan cepat aku mendorongnya. Aku tidak tahu, ada rasa malu dan gugup saat bibir Onew oppa sempat menyentuh bibirku.

 

Kami menjadi canggung satu sama lain.

 

“Aa! Oppa. Mana kuda yang kau janjikan padaku?”

 

Dia pasti tahu aku menghindarinya. Aku berlari menuju komedi putar yang seperti menggodaku karena sempat melihatku, hampir berciuman mungkin.

 

“Boonie!”

 

Tangannya menarik tanganku. Memaksaku jatuh dipelukannya. Sesaat aku tidak mengenali Onew oppa yang kini menatapku dalam. Tidak seperti Onew yang selama ini menatapku hangat. Kali ini dia mengunci mataku dengan matanya.

 

“Kau sudah menikah?”

 

Apa?

 

“Tentu saja belum.”

“Apa kau sudah mempunyai kekasih?”
“Tidak.”

 

“Ada laki-laki lain yang kau sukai?”

 

“Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Karena kau menolak cintaku!”

“Apa? Kapan aku melakukannya!”

“Kau tidak mau aku cium!”

“…”

 

Apa penolakanku menyakitinya? Tidak seharusnya aku berbuat seperti ini setelah apa yang kulakukan padanya.

 

“Baiklah cepat cium aku!”

 

Kupejamkan mataku. Sangat rapat. Aku sempat tersentak saat telapak tangan Onew oppa merengkuh rahangku. Refleks, aku memundurkan kepalaku ketika nafas Onew oppa menghembus diwajahku. Namun kini kedua tangan Onew oppa merengkuh wajahku. Mengunci agar kepalaku tidak bergerak.

 

Gugup. Kedua tanganku meremas jaketnya. Bibirnya menyapu bibirku. Lembut. Menekan bibirnya, hingga aku tak sempat bernafas. Aku memberanikan untuk membuka mataku, saat bibir kami tak bertemu lagi.

 

Tapi terpaksa aku memejamkan mataku lagi. Onew oppa mengecup bibirku lembut. Menghisap bibirku kemudian bernafas dibibirku. Kurasakan hangat lidahnya menyapu bibir bawahku, kemudian menghisap lembut bibirku untuk yang kedua kalinya. Bibir bawahku terasa dingin saat angin berhembus.

 

“Ayo kita lihat kudamu.”

 

Aku membuka mataku. Yakin semuanya telah selesai. Sampai bibir oppa mengecup bibirku singkat. Membuatku membeku. Hingga harus diseret, berlari menuju komedi putar kami.

 

Onew oppa membawaku mengelilingi komedi putar. Mencari kuda yang tercantik. Namun kuhentikan langkahku saat melihat seorang anak perempuan meringkuk diatas sebuah bangku komedi putar ini.

 

“Wae?”

 

Aku menghampiri anak perempuan itu. Senang, bercampur marah saat menemukan Jeojin tertidur dikomedi putar ini.

 

“Kau menculik anak prempuan?”

“Tidak. Aku tidak menculiknya.”

“Lalu kenapa Jeojin ada disini? Ah! Kau berbohong pada anak laki-laki yang mencari adik perempuannya bukan?”

“Berbohong? Tidak. Dengar dulu..”

“Lalu?”

“Aku baru menyadari ada anak perempuan tertidur disini setelah anak laki-laki itu pergi.”

“Kenapa kau tidak mengantarnya pulang?”

“Aku tidak tahu dimana rumahnya.”

 

Kau beruntung Jeojin. Kau berada ditempat laki-laki yang paling berhati didunia ini. Kau aman.

 

******

 

 

Aku tidak mengharapka yang lebih dari ini. Tidak pernikahan dengan pesta yang meriah. Atau gaun pengantin seperti putri.

 

Dress putih, dengan buket bunga yang diberikan nyonya Park Kahi. Onew oppa terlihat tampan dengan jas yang diberikan Minho. Disaksikan orang terdekat kami. Disebuah kantor sipil pernikahan. Aku akan menjadi istri Onew oppa. Dan kami akan tinggal bersama seperti dulu lagi. Membagi kehidupan kami bersama sama. Susah dan sedih. Senang dan bahagia. Selama bersama Onew oppa.

 

Onew oppa menggenggam tanganku sangat erat saat menandatangani surat pernikahan kami. Genggaman yang tidak pernah lepas semenjak memasuki kantor ini.

 

Kami akan menjadi pasangan. Akan saling mendukung satu sama lain. Aku mengembangkan sekolahku. Tanpa mengabaikan Onew oppa dengan bisnis komedi putarnya. Aku akan bersama dengannya, hingga seluruh anak dapat merasakan bahagianya menaiki komedi putar.

 

“Silahkan, kau boleh mencium istrimu sekarang.”

 

“Apa!”

 

Oh Tuhan. Aku belum siap dengan hal yang satu ini.

 

 

-tamat-

Tadinya mau dibikin sesuai judul, dua2nya jd pencuri. Tap gak tega ama Bonnienya.. kasian dia udah cukup merana. Masa msh harus dikejar-kejar polisi juga.

NB: NC menyusul.